Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi
You are herePembaku / Anton Moedardo Moeliono
Anton Moedardo Moeliono
Putra ketiga dari pasangan R. M. Moeliono Prawirohardjo dan Maria A. Igno ini sesungguhnya tidak pernah bermaksud mendalami bahasa Indonesia. Saat itu, ia secara kebetulan membaca iklan beasiswa ikatan dinas masuk ke Fakultas Sastra (FS) Universitas Indonesia (UI) untuk menjadi pegawai bidang bahasa. Setelah meraih gelar sarjana bahasa pada tahun 1958, ia mengajar sebagai dosen sekaligus menjadi tenaga tidak tetap di Lembaga Bahasa dan Kebudayaan. Selama tiga tahun, terhitung sejak 1960, ia menjabat sebagai Kepala Bidang Perkamusan, merangkap Ketua Jurusan Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin, Sastra Indonesia UI. Dari sanalah kepakaran dia sebagai ahli bahasa mulai berkembang.
Untuk memperdalam ilmu bahasanya, Anton melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Pada tahun 1965, ia meraih gelar Master of Arts in General Linguistics dari Cornell University, Amerika Serikat. Pada tahun 1970, ia mulai berkenalan dengan kelompok linguistik Amerika yang mengajarinya perencanaan bahasa. Sejak perkenalan itu, ia mulai mengembangkan wawasan bagaimana semestinya bahasa Indonesia diperlakukan.
Pada tahun 1971, ia bertolak ke Belanda untuk melanjutkan kuliah pascasarjananya di Rijksuniversiteit Leiden. Sepulangnya ke tanah air, ia mulai dipercaya menduduki berbagai posisi penting, khususnya di lembaga-lembaga bahasa. Khusus di bidang perkamusan dan peristilahan, ia banyak berguru pada W.J.S. Poerwadarminta, yang kebetulan sedang menyusun kamus. "... sehingga saya kemudian mengembangkan minat dan perhatian pada peristilahan," tuturnya.
Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 21 Februari 1929 ini, kemudian menjadi sosok penting di balik lahirnya EYD (Ejaan yang Disempurnakan) pada tahun 1972. Pada tahun itu pula, pada perayaan HUT Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945 -- 1966) Kemerdekaan RI yang ke-27, EYD untuk pertama kalinya diresmikan dan diberlakukan di seluruh pelosok tanah air. Kemudian, pada tahun 1981, ia berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Sastra, Bidang Linguistik di Universitas Indonesia.
Setahun berselang, Anton diangkat menjadi Guru Besar Bahasa Indonesia dan Linguistik Fakultas Sastra UI. Kala itu, Anton, yang biasa disapa Pak Ton oleh mahasiswanya, juga mengajar Sintaksis, Semantik, yang merupakan bagian dari Ilmu Lingustik. Dalam memberikan kuliah, Anton dikenal sebagai dosen yang sangat cermat, rapi, tegas, dan tidak suka pada mahasiswa yang tidak menyimak. Ia sudah menyiapkan segala pertanyaan kepada anak didiknya sebelum kuliah dimulai.
Senyum juga hanya sesekali terlihat di wajah seriusnya, selebihnya matanya akan mengamati ekspresi para mahasiswa yang duduk mendengarkan kuliahnya. Jabatan Guru Besar Bahasa Indonesia memang pantas disandangnya, selain tutur katanya yang meluncur dengan apik, tertata rapi, pemilihan kosakata dalam setiap rangkaian kalimat yang dilontarkannya pun amat kaya. Dari segi penampilan, siapa pun yang melihatnya akan merasa segan, kemeja lengan pendek, kadang-kadang dipadukan dengan dasi serta sepatu kulit kian membuatnya terlihat berwibawa.
Di samping itu, perawakan tubuhnya yang gempal, kacamatanya yang sering dinaikturunkan, tak jarang membuat suasana hati mahasiswanya tak keruan. Antara menaruh hormat pada kepandaiannya, seram karena sikap tegasnya, dan sedikit terkesan galak karena kedisiplinannya. Namun, kelak mereka akan merasa amat berterima kasih karena bisa mendapatkan ilmu langsung dari sang ahli. Selain mengajar di kampus, Anton juga tampil membawakan Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di layar TVRI pada tahun 1973 -- 1977. Tak kurang dari 200 siaran pernah ia selenggarakan. Antara tahun 1968 -- 1971, ia mengasuh rubrik Santun Bahasa di harian KOMPAS, Jakarta, sebagai ajang komunikasi timbal balik bagi pembaca yang ingin bertanya mengenai ejaan, tata bahasa, istilah, dan saran mengatasinya.
Berkat kepandaiannya pula, suami dari Cecilia Soeparni Josowidagdo ini dipercaya menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa pada tahun 1984. Kontribusinya selama 5 tahun berkiprah di lembaga itu dapat dinikmati generasi penerus hingga detik ini. Di bawah kepemimpinannya, muncullah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada tahun 1988.
Selain di UI, Anton juga dikenal sebagai tokoh yang cukup berpengaruh di Universitas Katolik Atma Jaya. Ia merupakan anggota perintis sekaligus pendiri Yayasan Atma Jaya sekitar tahun 1960-an. Di kampus itu, ia pernah menjadi Ketua Badan Harian Yayasan Atmajaya, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Dia juga pernah terpilih menjadi Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik serta diangkat sebagai profesor tidak tetap pada Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Program Pendidikan Pascasarjana. Pada tahun 2000, barulah ia menjadi Guru Besar Tetap FKIP Atma Jaya, merangkap sebagai Ketua Program Studi Linguistik Terapan. Setahun kemudian, ia dianugerahi Warga Adipurna Atma Jaya.
Universitas Katolik Atma Jaya pernah turut memeriahkan ulang tahun Anton yang ke-75. Kampus di pusat kota Jakarta itu antara lain mengadakan seminar internasional sehari mengenai bahasa. Kepada Anton diserahkan buku kenangan. Buku itu adalah "festchrift" kelima bagi pembaku dan perawat bahasa Indonesia yang telah membimbing 23 promovendi ilmu bahasa dalam 20 tahun terakhir, seperti Harimurti Kridalaksana, Hasan Alwi, dan Dendy Sugono.
Sebelumnya, pada ulang tahunnya ke-65, Anton sudah menerima dua buku kenangan: "Bahasawan Cendekia" dan "Mengiring Rekan Sejati dari UI dan Atmajaya". Dua lagi terbit lima tahun kemudian untuk hari lahir ke-70, yaitu "Telaah Bahasa dan Sastra" kado dari Pusat Bahasa, dan "Kajian Serba Linguistik" hadiah bersama dari Atmajaya dan BPK Gunung Mulia.
Penggemar musik klasik Barat dan gamelan ini dianggap pantas menerima hadiah. Gagasan dia mengubah pola pengajaran Jurusan Indonesia Fakultas Sastra UI dari yang bersemangat orientalis menjadi studi Indonesia, telah melahirkan beberapa nama penting di dunia bahasa seperti M.S. Hutagalung, Gorys Keraf, dan Lukman Ali.
Pada tahun 1995, Universitas Melbourne Australia menganugerahkan gelar doktor honoris causa Ilmu Sastra kepada pakar bahasa yang telah menghasilkan beberapa karya buku yang sampai saat ini masih digunakan sebagai acuan ini. Antara lain, buku "Santun Bahasa" (1984), "Masalah Bahasa yang Dapat Anda Atasi Sendiri" (1988), dan "Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar" (1989). Selain itu, aktivis berbagai organisasi, terutama bidang kebahasaan, ini adalah penyunting beberapa buku mengenai ejaan, pembentukan istilah, dan penyunting penyelia Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi I (1988).
Sebagai seorang pakar yang sudah kenyang pengalaman, Anton menegakkan trilogi bahasa Indonesia: aku cinta bahasa Indonesia, aku bangga pada bahasa Indonesia, dan aku setia pada bahasa Indonesia. Trilogi itu sudah ia jalankan untuk dirinya sendiri. Kendati berdarah Jawa dan lahir serta besar di Bandung sehingga bahasa Jawa dan Sunda ia kuasai dengan fasih dan baik, logat dan dialek kedua bahasa itu tidak sedikit pun pernah terlontar dalam setiap tutur katanya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik periode 1984 -- 1990 ini sering berujar, "Saya ingin bangsa Indonesia merasa bangga pada bahasa mereka dan memastikan bahasa Indonesia digunakan adalah cara paling efektif untuk menjaganya".
Bagi Anton, bahasa Indonesia akan lestari jika terus digunakan secara baik dan benar. Maka, ketika ada sebagian kalangan mengadopsi bahasa asing mentah-mentah ke dalam bahasa Indonesia, Anton akan cenderung memberi rekomendasi untuk menggunakan kata-kata bahasa Indonesia, bukan bahasa asing. Kendati demikian, bukan berarti ia tidak menyukai kata-kata asing. "Saya tidak menolak 'tuk meminjam. Jika konsep tidak diganti, saya akan senang untuk mengimpor," ujar pria yang memperkenalkan kata sophisticated dengan kata "canggih" ini, yang lalu banyak digunakan penutur untuk menjelaskan kerumitan teknologi.
Karena keteguhan sikapnya itulah, ia ingin bahasa Indonesia benar-benar lahir dari bangsa sendiri, tanpa meniru-niru bahasa asing. Hal itu benar-benar ia buktikan dengan menciptakan kata-kata bahasa Indonesia baru, misalnya rekayasa, bandar udara (bandara), pantau, canggih, pasar (swalayan), dan masih banyak lagi. Karena kekayaan perbendaharaan kata yang dimilikinya itu, tak heran jika di kemudian hari, ia mendapat julukan "Sang Kamus Berjalan".
Pria yang pernah menjadi profesor tamu di Goethe Universitt Frankfurt dan Katholieke Universiteit Brabant Tilburg ini juga kerap dihinggapi rasa kecewa jika mendengar gaya berbahasa berbagai kalangan dewasa ini. Mulai dari para pembawa acara media elektronik yang kerap berceloteh dengan mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, hingga para pejabat tinggi yang dalam berpidato tidak memerhatikan gramatika kalimat yang baik dan benar, bahkan amburadul. Bahasa Indonesia gado-gado yang kerap ditemui di ruang publik seperti itu dipandangnya sebagai sesuatu yang amat memalukan. "Mana Bahasa Nasional kita? Seharusnya, mereka sebagai bangsa Indonesia bangga dengan bahasa nasionalnya!" demikian ucap Anton menggambarkan kekecewaannya seperti dikutip dari situs berita kompas.com.
Ia juga berpandangan, sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional bukan karena banyaknya penutur, melainkan karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa. Bahasa Inggris, kata dia, menjadi bahasa internasional utama karena penuturnya cendekia dan mahir berbahasa sehingga menjadi pelopor ilmu pengetahuan.
Pakar yang dikenal kritis dan pedas dalam melontarkan pendapatnya ini mengembuskan napas terakhirnya pada Senin, 25 Juli 2011, pukul 23.27 WIB di RS Medistra, Jakarta Selatan karena menderita penyakit komplikasi. Rabu, 27 Juli 2011, setelah disemayamkan di rumah duka di Jalan Kartanegara No. 51, Jakarta, diadakan misa requiem di Gereja Maria Perawan Ratu, Blok Q, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tepat pukul 10.00 WIB, jenazah pakar bahasa Indonesia ini dikremasi.
Diambil dan disunting dari:
Nama situs | : | Tokoh Indonesia |
Alamat URL | : | http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/ |
Judul artikel | : | Pembaku dan Perawat Bahasa Indonesia |
Penulis artikel | : | Muli |
Tanggal akses | : | 3 Januari 2014 |
- Login to post comments
- 4788 reads