Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi
You are hereArsitek Pengukir Sejarah Toleransi / Friedrich Silaban
Friedrich Silaban
Diringkas oleh: N. Risanti
Friedrich Silaban adalah seorang arsitek yang mengukir sejarah toleransi beragama di Indonesia. Lahir pada tanggal 16 Desember 1912, di Bonandolok, Sumatera Utara. Ia dijuluki Presiden pertama RI dengan, 'By the grace of God" (karena anugerah Tuhan - Red.) karena berhasil memenangkan sayembara merancang masjid Istiqlal di Jakarta.
Arsitek Masjid Istiqlal
Toleransi beragama sesungguhnya adalah hal yang telah lama ditunjukkan dan dilakukan oleh umat beragama di Indonesia. Ketika suatu pemeluk agama tertentu membangun sebuah tempat ibadah, maka tidak jarang akan mendapat bantuan dari pemeluk agama yang lain. Dan, itulah yang terjadi dalam proses pembangunan masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara pada awal abad 21.
Friedrich Silaban, sang arsitek masjid sendiri adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Toleransi dari umat Islam tampak dalam proses pembangunan masjid tersebut, yang menerima pemikiran bahwa desain dari rumah ibadah mereka akan dibangun oleh seseorang yang tidak beragama Muslim. Hal yang sama yang juga dilakukan oleh Friedrich Silaban. Meskipun sebelumnya ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari hati nuraninya sendiri sebagai seorang umat kristiani, apakah ia pantas sebagai seorang pemeluk agama lain, membuat desain dari sebuah masjid? Pada akhirnya, dengan hati dan pikiran yang terbuka, ia pun terlibat dalam pembuatan desain dan pembangunan masjid Istiqlal.
Ide pembangunan masjid itu sendiri dipelopori oleh K.H. Wahid Hasyim, yang pada saat itu menjadi Menteri Agama RI pertama, bersama dengan H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan, dan sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman. Mereka kemudian membentuk Yayasan Masjid Istiqlal yang dikukuhkan di hadapan notaris pada tanggal 7 Desember 1954. Gagasan tersebut disambut baik oleh Ir. Soekarno sebagai Presiden RI, yang juga bersedia membantu pembangunan masjid.
Untuk mendapat hasil terbaik, desain masjid kemudian dilombakan, dengan membentuk tim juri beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir. H Djuanda, Prof. Ir. Suwardi, Hamka, H. AbubakarAceh dan Oemar Husein Amin yang diketuai langsung oleh Ir. Soekarno. Pada tanggal 5 Juli 1955, akhirnya diputuskan oleh tim juri bahwa desain karya Silaban dengan judul "Ketuhanan" menjadi desain pemenang dalam pembangunan masjid Istiqlal.
Lokasi pembangunan masjid tersebut kemudian diputuskan di Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial Belanda, yang terletak di depan lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Selama setahun, lokasi tersebut dibersihkan dari lumut, ilalang, dan semak-semak yang menyelimuti bekas-bekas tembok bangunan Benteng sebelum akhirnya diletakkan batu pertama oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961.
Pembangunan masjid itu sendiri berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun karena tersendat oleh krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas, bahkan berhenti total setelah terjadi pemberontakan G-30 S PKI pada tahun 1965. Masjid Istiqlal dengan arsitekturnya yang bergaya modern itu, baru diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978. Masjid itu pun menjadi pusat kegiatan dakwah dan sosial bagi umat Muslim di Jakarta.
Pergulatan Hati Silaban
Sebelum Silaban mengikuti sayembara desain masjid Istiqlal, ia sempat meminta nasihat dari Monsigneur Geisse, seorang uskup dari Bogor, dan terutama memohon petunjuk dari Tuhan. Ia berdoa agar Tuhan Yesus memberi hikmat baginya untuk mengikuti sayembara tersebut, bahkan menuntunnya untuk tidak turut di dalamnya, jika hal itu tidak dikehendaki oleh-Nya. Ketika ia tidak mengalami hambatan apa pun dalam mengikuti sayembara tersebut, ia pun berkesimpulan bahwa Tuhan mengizinkannya, dan akhirnya terpilih menjadi pemenang.
Pada bangunan masjid Istiqlal tersebut, Silaban menerapkan desainnya dengan prinsip minimalis. Penataan ruangan-ruangan dibuat terbuka di kiri kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar di antaranya sehingga memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami ke dalam bangunan masjid. Konsep desain yang demikian ternyata sangat cocok diterapkan pada masjid yang berdaya tampung sekitar 100.000 orang.
Kisah dengan Bung Karno
Friedrich Silaban adalah seorang pribadi yang selalu kuat mempertahankan apa yang diyakininya. Sifat tersebut ternyata membuat hubungannya dengan Bung Karno menjadi menarik dan unik. Cerita tersebut diungkapnya dalam Solichin Salam, dalam suatu wawancara pada bulan Februari 1978.
Dikatakannya, arsitekturlah yang membuat hubungannya dengan presiden pertama RI itu menjadi unik, sebab selama 24 tahun, ia sering berselisih pendapat dengan Bung Karno. Dan, tidak jarang, Bung Karno mengakui bahwa beliau yang salah dan Silaban yang benar.
Bagi anak kelima dari Jonas Silaban dan Noria Boru Simamora itu, pengalaman-pengalamannya dengan Presiden Soekarno itu menjadi kenangannya sampai mati. Katanya saat itu, "Saya sudah bekerja 47 tahun terus-menerus sampai sekarang, tetapi belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah pendapat terhadap saya, selain dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara lain masalah kompleks Bangunan Olahraga (sebelumnya Asian Games - Red.) Senayan.”
Dalam masalah pembangunan kompleks bangunan olahraga tersebut, Silaban berpendapat bahwa adalah sebuah kekeliruan untuk membangun sebuah kompleks olahraga bertaraf internasional di daerah Duku Atas, sebab terdapat masalah saluran air dan masalah lalu lintas yang terlalu padat di daerah tersebut. Pada akhirnya, pendapatnya itu dibenarkan oleh Bung Karno, yang berkomentar, "Ya, Presiden Soekarno yang salah, dan Silaban yang benar."
Karier dari Silaban dimulai setelah ia menyelesaikan pendidikan formalnya di H.I.S. Narumonda, Tapanuli, tahun 1927, Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Jakarta, pada tahun 1931, dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda, pada tahun 1950. Silaban juga pernah bekerja sebagai pegawai Kotapraja Batavia, Opster Zeni AD Belanda, Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat (1937), dan sebagai Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.
Prestasi suami dari Letty Kievits dan ayah dari 10 orang anak ini telah dimulai semenjak zaman kolonial ketika ia memenangkan sayembara perencanaan rumah Walikota Bogor pada tahun 1935, serta beberapa hotel. Selain Masjid Istiqlal, Monumen Nasional serta Gelora Senayan menjadi saksi dari kepiawaiannya dalam mendesain bangunan yang monumental dan besar bagi bangsa Indonesia.
Karya-karya tersebut membuat Friedrich Silaban mendapat berbagai penghargaan, baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara. Penghargaan yang diterimanya, antara lain tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang diberikan oleh Presiden Sukarno tahun 1962 dan Penghargaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. Di samping itu, kubah Masjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat, sebagai hak ciptanya sehingga disebut sebagai “Silaban Dome” atau kubah Silaban.
Friedrich Silaban pada akhirnya tutup usia pada tanggal 14 Mei 1984 di Jakarta setelah menderita komplikasi dari beberapa penyakit. Ia pergi dengan meninggalkan jejak harum bagi toleransi beragama di Indonesia, serta nama yang akan selalu dikenang dalam sejarah bangsa Indonesia.
Diringkas dari:
Nama situs | : | Silaban |
Alamat URL | : | http://www.silaban.net/2005/10/08/friedrich-silaban-1912-1984-arsitek-pengukir-sejarah-toleransi/ |
Judul asli artikel | : | Friedrich Silaban (1912-1984): Arsitek Pengukir Sejarah Toleransi |
Penulis artikel | : | Charly Silaban |
Tanggal akses | : | 5 November 2014 |
- Login to post comments
- 5085 reads