Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi
You are herePenulis / Max Havelaar
Max Havelaar
Max Havelaar baru diangkat menjadi wakil residen di Karesidenan Lebak yang membawahi beberapa kabupaten di Banten. Peristiwanya terjadi sekitar tahun 1850an. Sebagai orang Belanda yang baru tiba di Indonesia, ia mengamati keadaan dengan tajam. Yang langsung menyita perhatiannya adalah perkebunan kopi.
Havelaar terkejut melihat penderitaan para kuli perkebunan. Mereka diperas oleh para mandor, para demang, dan para bupati yang adalah orang-orang Indonesia juga. Keluarga para kuli tinggal di desa-desa sekitar perkebunan secara melarat. Mereka ditindas dan diperlakukan kurang adil oleh para petugas pemerintah setempat yang merupakan majikan mereka.
Para kuli dan keluarganya tidak mempunyai pilihan lain kecuali pasrah pada nasib. Mereka tidak mungkin pindah kerja. Mau cari kerja apa dan di mana? Mau pindah ke mana? Kata orang, digaji dua peser seminggu sudah bagus.
Havelaar merasa prihatin lalu menghubungi beberapa kepala polisi, baik orang Indonesia maupun Belanda, untuk memperbaiki nasib para kuli. Usaha ini gagal. Ia lalu menghadap atasannya, tetapi atasannya bersikap masa bodoh. Kemudian, ia menghadap Gouverneur-generaal, yaitu penguasa tertinggi atas seluruh kepulauan Indonesia yang dijajah Belanda. Havelaar mendesak agar perusahaan-perusahaan pemerintah Belanda di Indonesia mau mempunyai hati nurani sehingga bukan hanya meraup laba, melainkan juga memberi perlakuan yang baik dan jaminan hidup yang sepadan kepada para pegawai. Sama seperti pejabat lain, orang itu berjanji, "Kami akan memperhatikan soal ini." Namun, janji itu cuma tinggal janji.
Havelaar kecewa dan minta berhenti. Ia kembali ke Nederland. Di sana, ia menjadi penyendiri, lalu menuangkan frustrasinya dengan cara menulis buku.
Demikian inti novel berjudul "Max Havelaar". Pengarangnya adalah Eduard Douwes Dekker (1820-1887) yang memakai nama samaran Multatuli. Buku itu merupakan dongeng, tetapi jangan bilang cuma dongeng, sebab buku itu kemudian mengubah angin politik dan sosial di banyak bagian dunia. Buku fiksi berdampak besar itu mengangkat tema hati nurani dan keadilan.
Patut disimak bahwa Alkitab juga menonjolkan tema hati nurani dan keadilan. Ketiga kategori kitab-kitab Perjanjian Lama semuanya mengangkat tema itu. Kitab-kitab Taurat dengan gaya legal, misalnya, "Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak yatim; juga janganlah engkau mengambil pakaian seorang janda menjadi gadai." (Ul. 24:17) Kitab-kitab nabi dengan gaya kecam, misalnya, "Lakukanlah keadilan dan kebenaran, lepaskanlah dari tangan pemerasnya orang yang dirampas haknya, janganlah engkau menindas ...." (Yer. 22:3) Kitab-kitab Tulisan (Kethubim) dengan gaya petuah, misalnya, "Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya ...." (Ams. 14:31)
Perjanjian Baru melanjutkan tema ini, misalnya kritik Yesus terhadap para rohaniwan, "... hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang ...." (Mat. 23:14)
Kritik terhadap ketidakadilan biasanya kurang disukai orang. Buku-buku tulisan Multatuli (semua bukunya memakai nama samaran itu, artinya: "Aku banyak menderita") ditanggapi secara dingin. Sekembalinya dari Indonesia pada tahun 1859, Multatuli hanya bekerja sebagai pengarang. Ia menyewa kamar atap yang sempit di Brussel. Dalam kemiskinannya, Multatuli menulis banyak novel, prosa, surat imajiner, skrip drama, dan aforisme, yaitu ragam sastra singkat padat yang serius dan sarkastis, namun dalam bentuk jenaka dan imajinatif.
Keunikan Multatuli adalah bahwa dalam tiap karyanya, ia memasukkan dirinya sendiri sebagai pelaku. Semua tulisan Multatuli adalah aspirasi dan emosi si penulis itu sendiri. Semua tulisan Multatuli merupakan sindiran dan kecaman terhadap masyarakat. Yang dikecam bukan hanya kolonialisme, melainkan juga diskriminasi terhadap wanita yang ketika itu masih lazim di Eropa, borjuisme, keangkuhan para majikan, kekerdilan para rohaniwan, dan kemunafikan para politisi. Para sastrawan sungguh mengagumi keunggulan karya Multatuli, namun buku-bukunya itu hanya dibaca oleh kalangan yang terbatas.
Baru kemudian hari, setelah Multatuli meninggal dunia, buku-bukunya mulai dipelajari secara lebih luas. Muncul cendekiawan-cendekiawan yang terilhami oleh Multatuli, lalu mulai meniupkan angin pembaruan sosial dan budaya di Eropa. Sejumlah cendekiawan mendesak pemerintah mereka masing-masing untuk memerdekakan jajahan di Asia dan Afrika, misalnya Hendrik Kraemer (perintis STT Jakarta) dan Johanes Verkuyl (perintis BPK Gunung Mulia). Semua buku Multatuli sebenarnya adalah gema dari buku pertamanya, yaitu "Max Havelaar". "Max Havelaar" yang terbit pada tahun 1860 sudah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1972. Pada tahun 1976, buku itu difilmkan oleh sutradara terkemuka Fons Rademakers.
Menemukan kembali hikmat dalam buku yang sudah lama tersimpan tentu bisa bermanfaat. Ketika pada tahun 621 sM Bait Allah diperbaiki, para tukang bangunan menemukan sebuah gulungan tulisan tua di antara barang-barang bekas. Berteriaklah imam yang membaca gulungan itu, "Telah kutemukan kitab Taurat itu di rumah TUHAN!" (2 Raj. 22:8) Gulungan itu merupakan fragmen dari pranaskah Kitab Ulangan. Ternyata, penemuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan perombakan di berbagai bidang hidup yang disebut Reformasi Yosia.
Buku-buku Multatuli juga berdampak pada kerabatnya. Seorang cucu saudaranya, yaitu Ernest Douwes Dekker (1879-1950), menjadi guru SD Kesatrian di Bandung dan penulis politik yang dikagumi oleh Bung Karno. Ia berganti nama menjadi Danudirdja Setiabudi. Di Bandung, ada Jl. Multatuli untuk menghormati Eduard Douwes Dekker dan JI. Setiabudi serta JI. Kesatrian untuk menghormati Ernest Douwes Dekker.
Kembali ke Multatuli. Sesuai dengan nama samarannya yang berarti "Aku banyak menderita", Multatuli memang menderita sepanjang usianya. Berkali-kali ia terpaksa mencari kamar lain yang lebih murah sewanya. Pada musim dingin ia tidak mampu membeli kayu bakar untuk tungku pemanas kamar sehingga ia pun ditinggalkan istrinya. Baru menjelang kematiannya pada usia 67 tahun, beberapa teman dan pembacanya membelikan rumah di Nieder-Ingelheim. "Aku banyak menderita", katanya. Memang ia banyak menderita untuk membuat dunia membaca, memasang telinga, dan membuka mata. Ia menulis, "Diperlukan banyak derita untuk sedikit mengerti bahwa hanya sedikit yang dimengerti oleh banyak orang."
Diambil dan disunting dari:
Judul buku | : | Selamat Berpelita |
Judul bab | : | Max Havelar |
Judul asli artikel | : | Max Havelar |
Penulis | : | Andar Ismail |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia 2011 |
Halaman | : | 56-59 |
- Login to post comments
- 12869 reads